Kabar duka dari sektor penerbangan Indonesia mewarnai awal pekan ini. Pesawat dari salah satu maskapai ternama Indonesia, Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610 rute Jakarta-Pangkalpinang jatuh di perairan Karawang pada Senin kemarin.
Maskapai berlogo singa merah itu tengah dirundung masalah kepercayaan publik saat ini. Lion Air sendiri telah memiliki sederet catatan buruk di sektor penerbangan. Mulai dari tergelincir, ledakan di bagian belakang pesawat, hingga pesawat jatuh saat mengudara.
Dari catatan detikFinance, sejak Februari 2011, Lion Air telah mengalami 6 kali kecelakaan teknis hingga saat ini. Yang terparah ialah insiden jatuhnya Boeing 737-8 Max yang membawa 189 orang pada Senin kemarin.
Walau banyak memiliki catatan negatif, namun Lion Air sendiri menjadi salah satu maskapai yang menguasai sektor penerbangan Indonesia. Sebut saja soal jumlah armada yang dimiliki. Saat ini, Lion Air diketahui memiliki sekitar 350 armada dengan berbagai jenis pesawat.
Jumlah armada Lion Air tersebut bahkan lebih banyak dari armada pesawat milik Garuda Indonesia. Berdasarkan situs resmi Garuda Indonesia, hingga tahun 2017 maskapai tersebut memiliki 144 pesawat. Jika ditambah dengan Citilink Indonesia, maka jumlahnya kini mencapai 202 pesawat.
Lion Air memang cukup getol memborong pesawat. Lion Air tercatat kerap melakukan kontrak pembelian sejumlah pesawat dengan berbagai pihak. Lion Air Group sendiri sebenarnya masih akan mendatangkan pesawat generasi terbaru dari pabrikan yang sama yakni Boeing.
Sedikit berbeda dengan jenis pesawat yang mengalami insiden itu, Lion membeli generasi terbaru, yakni 737 MAX 10. Tak tanggung-tanggung, Lion Air membeli 50 pesawat.
Dari catatan detikFinance, Lion Air Group merogoh kocek US$ 6,24 miliar atau setara Rp 84,2 triliun demi mendapatkan Boeing 737 MAX 10. Angka itu dihitung berdasarkan nilai dolar saat perjanjian pembelian yang diteken pada April 2018 yakni Rp 13.500.
Jika melihat ke belakang, dalam tiga tahun Lion Air pernah menghabiskan dana hingga sebesar Rp 595 triliun untuk membeli pesawat. Pada 18 November 2011
Lion teken kontrak pembelian 230 Boeing 737, senilai $21,7 miliar atau Rp 282 triliun.
Penandatanganan dilakukan di sela-sela acara KTT ASEAN, di Bali, disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Barack Obama.
Penandatanganan dilakukan di sela-sela acara KTT ASEAN, di Bali, disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Barack Obama.
Kemudian pada Maret 2013, Lion Air kembali teken kontrak pembelian 234 Airbus A320 dan A321 senilai $24 miliar atau sekitar Rp 312 triliun.
Penandatanganan jual beli dilakukan di Istana Kepresidenan Elysee, disaksikan Presiden Perancis Francois Hollande.
Lalu pada Pada November 2014, Airbus mengirimkan tiga unit pertama A320 pesanan Lion Air Group. Pengiriman awal ini diperuntukkan bagi anak usaha Lion Air Group yaitu Batik Air. Pada November 2014, Lion Air Group juga mengikat kontrak pembelian 40 unit pesawat turboprop baru jenis ATR72. Nilai total pembelian pesawat jet tersebut menyentuh angka $ 1 miliar.
Adapun armada pesawat yang dimiliki Lion Air Group itu beragam tipenya. Ada Airbus A320 CEO, Airbus A330, B-737-800, B-737-900ER, B-737MAX 8, B-737MAX 9, serta B-737MAX 10. Selain itu, Lion Air Group juga memiliki pesawat jenis ATR72-500 sebanyak 19 unit dan 53 unit pesawat jenis ATR72-600.
Namun sayang, banyaknya jumlah armada dari Lion Air Group tersebut justru tak diiringi dengan tingkat kepercayaan dari publik yang tinggi. Hal itu tak terlepas dari sikap manajemen yang kerap membuat konsumen kecewa.
Rentetan kejadian tak mengenakan sering dialami penumpang Lion Air. Contohnya seperti pada kasus yang tak mendapatkan kursi atau tempat duduk, mendarat darurat, bagasi hilang, hingga masalah delay berjam-jam. Menguasai banyak armada pesawat saja sepertinya tak cukup bagi Lion Air untuk menarik kepercayaan konsumen.
Tepat pada hari Senin tanggal 29 Oktober 2018, sekitar pukul 06.30 wib. Indonesia sekali lagi berduka karena jatuhnya pesawat terbang Lion Air JT 610 yang memakan kurang lebih 125 korban jiwa. Rintih dan tangis kerabat keluarga korban membanjiri berbagai media, seperti Televisi, Website Berita Online, Youtube, Instagram, Facebook dan media – media lainnya.
Namun Beberapa media nasional yang masih menggunakan konsep human interest yang kasar dan sensasionalistik dalam mengangkat aspek - aspek kemanusiaan dalam kecelakaan Lion Air JT 610 ini,. Konsep jurnalisme human interest ini seringkali dikritik sebagai manipulatif dan sensasionalistik.
Bob Franklin (1997) pernah menyebut bahwa berita-berita dengan human interest yang tinggi justru bisa melemahkan peran media dalam demokrasi. Karena hanya fokus pada cerita-cerita yang menarik dan ringan, ia lebih fokus pada apa yang kira-kira akan menjadi perhatian publik daripada apa yang menjadi kepentingan publik.
Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang emosional. Jauh lebih mudah bagi manusia untuk merasa terhubung dengan kisah emosional, kisah yang dekat dan bisa mereka bayangkan dengan pengalaman mereka, dibandingkan data angka atau konsep abstrak tentang kesalahan struktural.
Kita perlu membincangkan kecelakaan sebagai masalah struktural dan belajar dari sisi-sisi faktual, namun publik awam juga perlu kisah emosional yang bisa membantu mereka memahami peristiwa yang asing dan “jauh” seperti kecelakaan secara lebih dekat.
Media memiliki peran besar dalam mempengaruhi sikap manusia/publik terhadap citra perusahaan yang beritakan, terlebih lagi jika disebarkan diberbagai media sehingga menjadi tersebar luas menjangkau khayalak ramai yang akan dapat membentuk opini publik.
Berbagai display informasi/ pemberitaan yang mengeksploitasi kesedihan kerabat dan keluarga korban dengan pertanyaan-pertanyaan klise yang ada di media massa sangat tidak relevan untuk diberitakan, terlebih dalam kode etik jurnalis.
Sehingga yang ditakutkan adalah membiaskan rasa trauma ataupun rasa takut ke publik, seharusnya media menginformasikan publik tentang keselamatan penerbangan, secara informatif dan faktual, pemberitaan yang jernih dan tidak menimbulkan trauma jadi catatan penting bagi media.
Namun pihak manajemen dari Lion Air Group juga memiliki peran besar dalam hal menangani krisis kepercayaan publik terkait informasi dari media, pihak manajemen perlu mengidentifikasi krisis, mengisolasi masalah dan membangun manajemen hubungan dengan media (Steve Fink) sehingga dapat memberikan informasi yang faktual untuk kepentingan publik.
Indonesia terdiri dari banyak pulau, masyarakat dalam menjalankan aktifitasnya tidak luput dari transportasi. Transportasi udara menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia, selain alasan kenyamanan, ataupun keselamatan, yang adalah karena mempersingkat waktu/cepat.
Berdasarkan dari jawaban para responden dari hasil penelitian saya dengan judul “Pengaruh Pemberitaan Media Tentang Kecelakaan Pesawat Lion Air Jt 610 Terhadap Citra Jasa Penerbangan Di Masyarakat” dapat disimpulkan bahwa pemberitaan/display informasi di media tentang kecelakaan pesawat dapat mempengaruhi citra dari Lion Air ataupun Jasa Maskapai Penerbangan sendiri.
Meskipun maskapai Lion Air masih diminati oleh masyarakat karena harga nya yang terjangkau murah juga karena sudah biasa digunakan oleh masyarakat Indonesia dan karena transportasi udara adalah transportasi yang dapat menghemat waktu untuk sampai ke tujuan. Perlu menjadi masukan menjadi manajemen dari Maskapai Penerbangan untuk melakukan manajemen krisis yang tepat dengan berbagai media sehingga dapat mempertahan citra ataupun kepercayaan masyarakat kepada jasanya.
Kekhawatiran tidak dapat hilang setiap saat menaiki pesawat terbang terutama Lion Air, namun karena harga yang relatif lebih murah dari maskapai yang lain, tak peduli akan citra yang ada, uang dan waktu lah yang terpenting bagi masyarakat, karena hidup dan mati hanya ada di tangan Tuhan, ada yang berduka, ada yang bekerja.
“Kecelakaan pesawat adalah sebuah tragedi. Ada yang berduka dan ada yang bekerja, tapi ada media haus klik yang sibuk menambang laba.”
Pergi kebali naik pesawat...
Membeli anting lewati badai...
Tak peduli keselamatan gawat...
Yang penting cepat sampai...
Komentar